Zaman dahulu, sering kita mendengar cerita legenda tentang kemampuan manusia merekatkan batu-batu raksasa hanya dengan mengandalkan zat putih telur, ketan atau lainnya sebagai bahan perekat. Alhasil, berdirilah bangunan fenomenal, seperti Candi Borobudur atau Candi Prambanan di Indonesia ataupun jembatan di Cina yang menurut legenda menggunakan ketan sebagai bahan perekat. Ataupun menggunakan aspal alam sebagai bahan perekat sebagaimana peradaban di Mahenjo Daro dan Harappa di India ataupun bangunan kuno yang dijumpai di Pulau Buton. Benar atau tidak, cerita legenda tadi menunjukkan dikenalnya fungsi semen sebagai Bahan Perekat Bangunan sejak zaman dahulu.
Semen sebagai bahan perekat mulai muncul kembali pada tahun 1700-an, tepatnya di Inggris setelah seorang ahli teknik bangunan bernama John Smeaton mencoba adonan semen baru dengan memanfaatkan batu kapur dan tanah liat. Saat itu semen digunakan untuk membangun sebuah menara. Namun amat disayangkan, semen temuan Smeaton tidak dipatenkan.
Sampai akhirnya pada tahun 1824, semen justru dipatenkan oleh seorang ahli teknik, Joseph Aspdin. Ia mematenkannya dengan nama Semen Portland karena hasil olahannya mirip dengan tanah di Pulau Portland, Inggris. Ramuan semen Aspidin lah yang banyak diaplikasi oleh produsen semen sekarang ini.
Kini ada berbagai macam jenis dan tipe semen yang dikenal. Bahkan, sesuai dengan perkembangan zaman, kini sudah ada semen instan, alias tinggal campur dengan air, langsung bisa digunakan. Sungguh, sebuah inovasi yang sangat berguna. Adanya semen kini telah menghasilkan monumen dan bangunan ternama di berbagai dunia.